http://www.segigarut.blogspot.com

Rabu, 11 Agustus 2010

Kembali Mensucikan Hati


Kembali Mensucikan Hati
Oleh : Irfan Kasyaf Noerfiqhy

Sebuah bola lampu setiap harinya akan terus tertempeli debu, sehingga pijaran yang terpancar dari lampu tersebut akan lemah jika ia tidak selalu dibersihkan. Begitu pula dengan hati manusia, ketika dia terus ditempeli oleh noda hitam dosa yang diperbuatnya, maka lambat-laun cahaya di hatinya semakin meredup dan akhirnya dia mati.
Kita semua tahu bahwa tidak akan ada seorang manusiapun yang tidak pernah melakukan dosa, mengapa demikian?, karena Allah telah mengilhamkan dua kecenderungan fitrah kepada manusia, dan manusia diberikan kebebasan untuk memilih antara dua kecenderungan tersebut. Dua kecenderungan yang saya maksudkan terdapat dalam Al Qur'an surat Asy Syams: 8, yaitu kecenderungan pada taqwa dan kecenderungan pada perbuatan dosa. Akan tetapi, Allah memberikan catatan penting setelah memberikan manusia kebebasan untuk memilih, yaitu sebuah peringatan yang tertera pada ayat berikutnya "Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya". Pertarungan dua kecenderungan ini tidak akan berhenti kecuali jika nyawa sudah lepas dari jasad, sehingga terkadang pertarungan ini dimenangkan oleh ketaqwaan dan terkadang oleh kemaksiatan.
Karenanya Nabi Saw. pernah bersada bahwa jasad manusia tergantung pada segumpal daging (baca: hati), maka kita mesti mengenal bagaimana cara memeliharanya. Hati kita tidak jauh perannya seperti jasad yang membalutnya, sebagaimana jasad membutuhkan penjagaan agar tetap selamat, butuh makanan agar bisa tetap hidup, dan membutuhkan pengobatan agar dia tetap sehat. Begitu pula dengan hati kita, dia membutuhkan penjagaan dari serangan cinta dunia dan ketakutan dari kematian, agar dia tetap terjaga. Dia butuh makanan dengan menu syukur, perbaikan kualitas ibadah dan amalan baik lainnya, agar dia tetap hidup, juga dia pun membutuhkan pengobatan dengan taubatan nashuha, agar dia tetap sehat.
Nabi Muhammad Saw pernah bersabda "Setiap anak cucu Adam berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah mereka yang senantiasa bertaubat" (HR. Muslim). Jadi, ketika lampu hati kita terkena noda hitam dosa, maka sudah sewajarnya bagi mereka yang ingin menjadi seorang pendosa terbaik dari para pendosa lainnya, untuk segera membersihkannya dengan TAUBAT. Adapun taubat ini mesti dilakukan secara berkesinambungan, karena dosapun akan terus-menerus menghampiri kita.
Hadis di atas tidak diartikan bahwa manusia akan menanggung dosa para pendahulunya, karena di dalam agama Islam tidak mengenal "Dosa warisan", sebab Allah hanya akan mempertanyakan amalan manusia sesuai dengan apa yang diperbuatnya selama di dunia. Juga, Islam tidak mengenal “Surat Pengampunan Dosa”, tetapi Islam mengajarkan manusia berTawasul (memakai perantara do'a), adapun tawasul ini hanya bisa dilakukan dengan tiga cara, pertama, bertawasul dengan amalan-amalan baik, misalnya berdo'a "Ya Allah, saya pernah bersedekah maka saya bertawasul dengan amalan saya ini untuk meminta pengampunan dari-Mu". Namun, jika merasa amal baik kita sedikit, maka bisa bertawasul dengan cara yang kedua, yaitu bertawasul dengan Asmâ (nama-nama) Allah, sebagaimana terdapat dalam surat Al A'raf: 180 dan Al Isrâ: 110. Atau bertawasul dengan cara yang ketiga, yaitu bertawasul dengan minta dido'akan oleh orang yang shaleh yang masih hidup (bukan kepada orang shaleh yang sudah meninggal).
Kembali ke pembahasan taubat. Apakah kita pernah bertanya pada hati sendiri, mengapa saya enggan untuk bertaubat, padahal Allah Swt menyukai orang-orang yang senantiasa bertaubat?, mengapa saya mesti malu pada manusia di saat hati saya menunutut untuk bertaubat?, mengapa saya pesimis dengan kasih sayang Allah Swt? ataukah karena saya masih ingin mengulang dosa itu hingga enggan untuk bertaubat?, kenapa saya memastikan bahwa saya masih bisa hidup esok hari, padahal tidak sedikit orang yang meninggal secara tiba-tiba?. Alangkah indahnya jika maut datang ketika kita sedang beribadah, dan alangkah ruginya jika maut datang ketika kita sedang berbuat dosa!.
Saudaraku sesama muslim, ulangi terus pertanyaan-pertanyaan tadi, agar kecenderungan taqwa kita tersadarkan. Kenapa?, karena kekuatan taqwa semakin melemah ketika kita terus melakukan dosa tanpa bertaubat, sehingga teriakan-teriakan ketaqwaan semakin sayup tak terdengar. Maka dengan pertanyaan-pertanyaan ini setidaknya bisa menyadarkan hati, meskipun pada awalnya getaran hati masih terasa datar. Tapi dengan terus bertanya kepada hati, maka lama-kelamaan getaran itu mulai naik dan mendaki menuju taubatan nashuha. Akhirnya, kondisi taqwa akan kembali pulih, dan kekuatan dosa akan terus berangsur melemah. Karenanya Rasulullah bersabda “Minta fatwalah kepada hatimu” (HR. Ahmad dan Ad Darimi, dengan sanadnya yang Hasan)
Ketika getaran itu mulai terasa, maka jangan berhenti sampai disana, tapi teruskan pada tingkatan yang disukai oleh Allah, yaitu Taubatan Nashuha, artinya taubat dengan sebenar-benarnya taubat. Hasan Al Bashri pernah ditanya mengenai maksud dari Taubatan Nashuha?, beliau menjawab yaitu “Hati yang menyesal, lidah yang beristighfar dan anggota tubuh yang segera meninggalkannya”. Jadi taubat yang sebenarnya tidak hanya penyesalan hati dan pengikraran lidah saja, tapi mesti dibuktikan dengan anggota tubuh kita. Karena ketika hati kita mulai menyesali, lalu lidah kita mengikrarkannya, kemudian mata menitikkan air matanya karena takut kepada Allah, maka tunggulah janji Rasulullah Saw : “Tidak akan masuk neraka seorang laki-laki yang menangis karena takut pada Allah, sampai kembalinya susu ke tetek …” (HR. Tirmidzi, beliau berkata Hadis ini hasan shahih ). Sabdanya yang lain “Tujuh golongan yang akan dilindungi Allah pada hari tidak ada lindungan kecuali lindungan dari Allah adalah : … dan laki-laki yang mengingat Allah sampai berlinang air matanya" (HR. Muttafaq A'laih).
Selanjutnya, tinggal kita yang mulai meraba hati dan perbuatan, apakah taubat kita diterima oleh Allah Swt. ataukah sebaliknya. Syaikh Muhammad Husain Ya’qub mengutarakan tanda-tanda orang yang diterima taubatnya, yaitu pertama, Kondisinya lebih baik setelah taubat, dibandingkan sebelumnya, kedua, Senantiasa takut untuk mengulangi dosa-dosanya, ketiga, Hati senantiasa takut dari siksaan yang disegerakan dan yang ditangguhkan, keempat, Hatinya takluk di Tangan Allah Swt.
Saudaraku sesama muslim, Berapa banyak kasih sayang Allah yang telah kita terima, ia terus mengalir tidak pernah berhenti meskipun kita mendurhakai-Nya. Tapi, terkadang ni’mat itu malah melenakan kita karena kita terlalu menuruti hawa nafsu. Maka, mari kita mensyukuri ni’mat Allah dengan mulai mensucikan hati. Serta jangan berputus asa dari ampunan Allah Swt, karena Nabi pernah bersabda “Sesungguhnya Allah akan menerima taubat seorang hamba, selama nyawanya belum sampai kerongkongan” (HR. Ahmad).
In Urîdu illal ishlâha mastatha’tu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar