http://www.segigarut.blogspot.com

Rabu, 11 Agustus 2010

MENJADI PELAYAN ALLAH SWT

Kehidupan adalah jembatan penyeberangan yang akan mengantarkan kita menuju tempat tujuan. Tak pernah ada yang tahu, siapapun itu --termasuk kita yang setiap saat merasa paling benar, merasa paling berjasa, merasa paling hebat, dan perasaan-perasaan lain yang memperlihatkan egoisnya diri kita dan sesungguhnya sedang mengantarkan kita pada titik nadir diri ini-- apakah sampai pada tujuan tersebut atau malah terpelanting di tengah jembatan penyeberangan kehidupan yang sedang kita jalani ini? Padahal, jurang yang ada di bawah jembatan yang sedang dilalui, sungguh tiada bertepi.



Saudaraku,
Pernahkah kita menyadari, bahwa teramat banyak perilaku kita yang sesungguhnya sedang mengantarkan kita pada jurang yang tiada bertepi tersebut. Tengoklah diri ini ketika tak satu pun kebenaran yang dapat kita serap dari orang lain karena sikap kita yang merasa paling benar. Lihatlah juga ketika diri ini berjalan menengadah ke langit yang begitu tinggi, sementara di bawah, kiri, kanan dan belakang kita bersimpuh tubuh-tubuh lusuh, menengadah mengharapkan penglihatan dan perhatian kita.
Perhatikan pula para pemimpin negeri ini yang diberikan amanah begitu besar untuk melayani rakyatnya, agar sampai pada kemerdekaan hakiki yang dicita-citakan, bukan kemerdekaan semu seperti saat ini. Pernahkan kita melihat mereka seperti layaknya para pelayan yang senantiasa tertuntut untuk melayani tuannya? Tidak! Tidak sama sekali. Mereka jauh lebih senang disebut sebagai penguasa yang justru menuntut untuk dilayani rakyatnya bahkan lebih senang menjadi pelayan negeri-negeri yang arogan. Tak ada apa pun yang mereka lakukan kecuali hanya menjual nama rakyat bagi terpenuhinya segala ambisi mereka memenangkan pertarungan kehidupan. Mereka tidak pernah menyadari, bahwa kemenangan yang mereka kejar sesungguhnya merupakan pintu gerbang menuju kekalahan dan kehinaan yang tiada akan pernah berakhir. Bagaimana tidak! Untuk memenangkan pertarungan kehidupan, mereka tidak merasa malu menjual nama rakyat, seakan-akan rakyat menginginkan apa yang mereka lakukan. Mereka tidak pernah merasa malu saling menghujat, mencaci, menghina bahkan beradu fisik seperti layaknya binatang aduan.
Tentu masih hangat juga dalam ingatan kita, saudara-saudara kita yang mencoba mengadu nasib di negeri orang. Pelayanan yang mereka lakukan pada tuannya malah berbuah pada penderitaan yang tiada akan pernah terlupakan selama hidup mereka.
Tiada hal yang menyebabkan semua itu terjadi, kecuali berawal dari keinginan terpuaskannya nafsu diri, kesombongan jasad dan hal-hal lain yang semuanya menunjukkan betapa kita telah menjadi makhluk paling egois melebihi 'egoistis'nya Tuhan yang memang berhak untuk egois.



Saudaraku,
Mungkin kita semua setuju jika ada yang berpendapat, bahwa tak ada satu pun ajaran etika atau agama yang membenarkan perilaku-perilaku kita seperti yang tertulis di atas. Sebagai seorang muslim, tentu kita akan menghisab semua itu dengan pegangan kita, Kitab Allah Yang Mulia (Al-Quran) sebagai pedoman dan tuntunan bagi teraihnya kehidupan kita yang hakiki.
Ingatkah kita semua ketika Al-Quran mengungkapkan bahwa kebenaran hanyalah milik dan datang dari Allah. Lalu, kekuatan seperti apa yang menjadikan kita mengaku dan merasa sebagai orang yang paling benar dibanding orang lain? Bukankah jika demikian kita telah memposisikan diri sejajar dengan Yang Mahabenar? Tuhan yang berhak kita layani. Demi Allah, kita ini tidak lebih daripada pelayan yang berkewajiban tunduk dan patuh pada satu-satunya Tuan kita, Allah Subhanahu wata'aala.
Masih ingatkah pula ketika Allah Swt. mengungkapkan firman-Nya dalam Al-Quran: "Hai orang-orang yang beriman! Janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan (menertawakan) kumpulan orang lain; boleh jadi (yang ditertawakan itu) lebih baik dari mereka (yang menertawakan). Dan jangan pula sekumpulan perempuan (merendahkan) kumpulan perempuan yang lain, boleh jadi (yang direndahkan itu) lebih baik dari mereka. Dan janganlah kamu suka mencela bangsamu dan janganlah memanggilkan dengan gelaran (yang mengandung ejekan)…(QS. Al-Hujurat [49]:11). Dalam ayat lain, Allah Swt juga mengungkapkan firman-Nya: "Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa" (QS. [ ]: ).
Kedua ayat di atas menggambarkan kepada kita bahwa kita semua adalah sama, tiada sekat-sekat yang membedakan bahwa seseorang lebih mulia dibanding yang lainnya. Tiada yang bisa membuktikan bahwa seorang tuan lebih mulia dibanding pelayannya. Tidak ada hal yang menunjukkan bahwa seorang pemimpin lebih mulia dibanding rakyatnya. Tiada seorang pun yang layak mengaku lebih baik daripada orang lain, karena boleh jadi ia lebih buruk dalam pandangan Allah. Jika kita ingin melihat siapakah orang yang paling baik, tengoklah orang-orang yang kesehariannya berusaha untuk memenuhi kehidupannya dengan ketaqwaan kepada Allah Yang Mahaperkasa. Bukankah orang-orang yang taqwa adalah orang-orang yang selalu melayani apapun yang diperintahkan oleh Tuannya (Allah)? Bukankah ia juga orang yang senantiasa menghindar dari apapun yang dilarang oleh Allah?. Pemimpin yang memenangkan pertarungan kehidupan yang hakiki adalah pemimpin yang mampu menjadi pelayan rakyatnya untuk mendekat kepada Allah, sehingga rakyatnya mampu menjadi komunitas manusia penuh kemuliaan.



Saudaraku,
Jika ternyata seorang pelayan bisa lebih mulia dibanding kita dalam pandangan Allah, kenapa kita tidak menjadi bagian dari para pelayan Allah tersebut. Bukankah jaminan bagi para pelayan seperti ini adalah kesenangan hidup yang hakiki dan tiada bertepi? Dan bukankah kehidupan seperti ini yang kita cita-citakan selama ini? Wallahu a'lam.



(Sumber : Jurnal MQ Vol.2/No.1/Mei 2002)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar